Jalur ekonomi perdagangan yang berdarah darah [Perang Suriah]
Apa yang terjadi di Suriah tidak lebih hanyalah sebuah permasalahan penguasaan jalur ekonomi perdagangan. Semenjak Sekolah menengah pertama kita telah belajar tentang Jalur sutra. Semua orang juga tahu bahwa Jalur sutra adalah simpul dari jalur ekonomi paling legendaris di dunia. Jalur ini melewati banyak Negara sehingga tak mudah bagi satu pihak untuk menguasainya sekaligus, Pihak yang berhasil menguasai simpul jalur sutra maka dia menguasai separuh jalur sutra !
Rencana pembangunan pipa minyak dan gas yang melewati jalur sutra sangat bernilai ekonomis tinggi, bagi pihak barat yang tengah dilanda krisis ekonomi parah tentu saja proyek pipa ini membuatnya tergiur. Selain masalah ekonomi, konon kabarnya bila Suriah berhasil ditundukan dan dikuasai barat maka gerbang utama untuk menyerang Iran akan terbuka lebar.
Peran sentral Suriah dalam hal pipa gas Arab adalah salah satu faktor kunci mengapa sekarang Suriah sedang menjadi target imperialisme Barat. Sama seperti Taliban yang harus disingkirkan setelah mereka menuntut terlalu banyak sebagai imbalan atas pipa Unocal, Presiden Bashar Assad harus dijatuhkan karena ia bukan "pemain" yang bisa didikte begitu saja.
Secara khusus, Turki, Israel dan sekutu mereka AS menginginkan terjaminnya aliran gas melalui Suriah, dan tidak menginginkan rezim Suriah untuk menghalangi jalur pipa tersebut, atau menuntut keuntungan yang terlalu besar.
Kesepakatan juga telah ditandatangani untuk menjalankan proyek pipa gas alam dari ladang gas raksasa di Selatan Iran melalui Irak dan Suriah (dengan kemungkinan perpanjangan pipa ke Libanon).
Dan kesepakatan untuk menyalurkan minyak dari ladang minyak di Kirkuk Irak ke pelabuhan Banias di Suriah juga telah disetujui: Turki dan Israel akan didepak keluar dari persaingan pipa gas ini. Tidak heran Turki dan Israel sama-sama meluncurkan serangan militer terhadap Suriah. Di sisi lain, industri gas alam raksasa Rusia akan terancam jika rezim Suriah saat ini digulingkan, maka tidak heran Israel dan Rusia masuk ke dalam konflik Suriah. Demikian pula monarki di Qatar dan Arab Saudi juga akan diuntungkan dalam persaingan pasar gas jika rezim Suriah berhasil ditumbangkan, jadi mereka pun mendukung "pemberontak".
Pemberontakan di Suriah mulai terjadi dua tahun yang lalu, hampir pada saat yang bersamaan dengan penandatanganan nota di Bushehr pada tanggal 25 Juni 2011 tentang pembangunan pipa gas Iran-Irak-Suriah yang baru, yang terbentang sepanjang 1.500 km dari Asaluyeh di lapangan gas terbesar di dunia, dari Pars Selatan (terletak antara Qatar dan Iran) ke Damaskus. Panjang pipa di wilayah Iran adalah 225 km, 500 km di Irak, dan di Suriah sepanjang 500-700 km. Kemudian dapat diperpanjang melalui dasar Laut Mediterania ke Yunani. Kemungkinan pasokan gas cair ke Eropa melalui pelabuhan Mediterania Suriah juga sedang dipertimbangkan. Investasi dalam proyek ini sebesar 10 miliar USD.
Proyek Pipa gas ini, yang juga dijuluki «Pipa Islam», akan mulai beroperasi pada periode 2014-2016. Kapasitasnya yang diproyeksikan adalah 110 juta meter kubik gas per hari (40 miliar meter kubik per tahun). Irak, Suriah dan Libanon telah menyatakan kebutuhan mereka untuk gas Iran (25-30 juta meter kubik per hari untuk Irak, 20-25 juta meter kubik untuk Suriah, dan 5-7 juta meter kubik hingga 2020 untuk Libanon). Sebagian pasokan gas akan dialirkan melalui sistem transportasi gas Arab ke Yordania. Para ahli percaya bahwa proyek ini bisa menjadi alternatif untuk pipa gas "Nabucco" yang dipromosikan oleh Uni Eropa (dengan kapasitas yang direncanakan 30 miliar meter kubik gas per tahun), yang tidak memiliki cadangan yang cukup.
Jalur pipa gas dari Iran akan sangat menguntungkan bagi Suriah. Eropa akan memperoleh keuntungan dari itu juga, tapi jelas seseorang di Barat tidak menyukainya. Sekutu-sekutu pemasok gas Barat di Teluk Persia juga tidak senang dengan itu baik, disamping juga Turki tidak akan menjadi pemasok gas no.1, karena kemudian akan keluar dari permainan.
Perang melawan Suriah bertujuan untuk ambisi Barat beserta sekutu mereka, serta menghancurkan kesepakatan antara Teheran, Baghdad dan Damaskus. Implementasi proyek pipa gas Iran-Iraq-Suriah telah dihentikan beberapa kali karena aksi militer, tetapi pada Februari 2013 Irak menyatakan kesiapannya untuk menandatangani perjanjian kerangka kerja yang akan memungkinkan proyek pembangunan pipa tersebut.
Peran sentral Suriah dalam hal pipa gas Arab adalah salah satu faktor kunci mengapa sekarang Suriah sedang menjadi target imperialisme Barat. Sama seperti Taliban yang harus disingkirkan setelah mereka menuntut terlalu banyak sebagai imbalan atas pipa Unocal, Presiden Bashar Assad harus dijatuhkan karena ia bukan "pemain" yang bisa didikte begitu saja.
Secara khusus, Turki, Israel dan sekutu mereka AS menginginkan terjaminnya aliran gas melalui Suriah, dan tidak menginginkan rezim Suriah untuk menghalangi jalur pipa tersebut, atau menuntut keuntungan yang terlalu besar.
Kesepakatan juga telah ditandatangani untuk menjalankan proyek pipa gas alam dari ladang gas raksasa di Selatan Iran melalui Irak dan Suriah (dengan kemungkinan perpanjangan pipa ke Libanon).
Dan kesepakatan untuk menyalurkan minyak dari ladang minyak di Kirkuk Irak ke pelabuhan Banias di Suriah juga telah disetujui: Turki dan Israel akan didepak keluar dari persaingan pipa gas ini. Tidak heran Turki dan Israel sama-sama meluncurkan serangan militer terhadap Suriah. Di sisi lain, industri gas alam raksasa Rusia akan terancam jika rezim Suriah saat ini digulingkan, maka tidak heran Israel dan Rusia masuk ke dalam konflik Suriah. Demikian pula monarki di Qatar dan Arab Saudi juga akan diuntungkan dalam persaingan pasar gas jika rezim Suriah berhasil ditumbangkan, jadi mereka pun mendukung "pemberontak".
Pemberontakan di Suriah mulai terjadi dua tahun yang lalu, hampir pada saat yang bersamaan dengan penandatanganan nota di Bushehr pada tanggal 25 Juni 2011 tentang pembangunan pipa gas Iran-Irak-Suriah yang baru, yang terbentang sepanjang 1.500 km dari Asaluyeh di lapangan gas terbesar di dunia, dari Pars Selatan (terletak antara Qatar dan Iran) ke Damaskus. Panjang pipa di wilayah Iran adalah 225 km, 500 km di Irak, dan di Suriah sepanjang 500-700 km. Kemudian dapat diperpanjang melalui dasar Laut Mediterania ke Yunani. Kemungkinan pasokan gas cair ke Eropa melalui pelabuhan Mediterania Suriah juga sedang dipertimbangkan. Investasi dalam proyek ini sebesar 10 miliar USD.
Proyek Pipa gas ini, yang juga dijuluki «Pipa Islam», akan mulai beroperasi pada periode 2014-2016. Kapasitasnya yang diproyeksikan adalah 110 juta meter kubik gas per hari (40 miliar meter kubik per tahun). Irak, Suriah dan Libanon telah menyatakan kebutuhan mereka untuk gas Iran (25-30 juta meter kubik per hari untuk Irak, 20-25 juta meter kubik untuk Suriah, dan 5-7 juta meter kubik hingga 2020 untuk Libanon). Sebagian pasokan gas akan dialirkan melalui sistem transportasi gas Arab ke Yordania. Para ahli percaya bahwa proyek ini bisa menjadi alternatif untuk pipa gas "Nabucco" yang dipromosikan oleh Uni Eropa (dengan kapasitas yang direncanakan 30 miliar meter kubik gas per tahun), yang tidak memiliki cadangan yang cukup.
Jalur pipa gas dari Iran akan sangat menguntungkan bagi Suriah. Eropa akan memperoleh keuntungan dari itu juga, tapi jelas seseorang di Barat tidak menyukainya. Sekutu-sekutu pemasok gas Barat di Teluk Persia juga tidak senang dengan itu baik, disamping juga Turki tidak akan menjadi pemasok gas no.1, karena kemudian akan keluar dari permainan.
Perang melawan Suriah bertujuan untuk ambisi Barat beserta sekutu mereka, serta menghancurkan kesepakatan antara Teheran, Baghdad dan Damaskus. Implementasi proyek pipa gas Iran-Iraq-Suriah telah dihentikan beberapa kali karena aksi militer, tetapi pada Februari 2013 Irak menyatakan kesiapannya untuk menandatangani perjanjian kerangka kerja yang akan memungkinkan proyek pembangunan pipa tersebut.
Irak yang tadinya bersahabat justru berbalik merapat dan menjadi sekutu Iran yang notabene sekutunya Suriah. Sekarang kondisi dilematis menggerogoti Suriah, bila pemerintahan Assad jatuh ke pemberontak belum tentu kondisi Suriah akan lebih baik, Libya dan Afghanistan sudah membukti hal itu, bukanya damai malah terjadi perang sipil tak berkesudahan. Sedang bila Pemerintahan Assad tetap utuh maka pemberontakan juga akan terus berkobar dimana rakyat Suriah bakal semakin lama menderita.
Fenomena Arab spring yang dimulai dari Tunisia kemudian menjalar ke Libya dan Mesir ternyata terhenti dan berkecamuk di Suriah. Cara-cara yang digunakan seperti di Libya atau Tunisia terbukti tak berhasil menundukan pemerintahan Bashar Al Assad yang tengah berkuasa.
Upaya menggulingkan kekuasaan Bashar Al Assad awalnya dilakukan oleh pihak oposisi melalui demonstrasi dan tuntutan reformasi politik namun sayangnya fakta dilapangan berbanding terbalik. Pemerintaahan Assad masih didukung oleh sebagian besar rakyat, tokoh tokoh agama dan kekuatan militer sehingga masih terlalu dini untuk digulingkan .
Kegagalan Oposisi mengganti kekuasaan melalui jalan damai akhirnya mendorong banyak pihak yang bersekutu dengan oposisi untuk melancarkan pemberontakan bersenjata. Hanya dalam hitungan hari, Pasukan Pemerintah dan Pemberontak terlibat perterungan sengit yang berdarah-darah, suriah berkecamuk hebat, ribuan manusia meregang nyawa dan jutaan lainnya terpaksa menjadi pengungsi.
Perang Suriah yang awalnya dilakoni oleh dua pihak saja yakni Pemerintah dan Oposisi Pemberontak mulai merembet kemana-mana, pasukan pemberontak mulai dijejali berbagai macam pasukan asing yang berafliasi dengan Negara negara teluk atau liga arab pro oposisi, Turki, Israel, Amerika dan NATO.
Secara militer jelas kubu ini jauh lebih unggul ketimbang pihak Suriah, hanya masalah legitimasilah yang membuat kekuatan militer kubu ini tak dikeluarkan secara langsung. Poros ini memilih menggunakan tangan orang lain yakni para pemberontak dengan memberikan dukungan dana, logistic, senjata, alat komunikasi dan pelatihan militer. Sayangnya dukungan luar biasa poros ini terhadap pemberontak ternyata tak memberikan hasil yang memuaskan. Berkali-kali pasukan pemberontak terpojok dan hampir binasa oleh serangan Pasukan pemerintah suriah. Kubu ini juga didukung penuh oleh kekuatan media di seluruh dunia, guna mengpropagandakan masyarakat internasional untuk turut mendukung penggulihan rezim Assad. Bila pertempuran terus berlanjut tanpa ada tanda –tanda kapan bisa berakhir, bisa jadi dengan berbagai alasan, pasukan militer dari kubu ini akan memaksa untuk meng intervensi secara langsung yang diperkirakan akan terjadi head to head dengan kekuatan Rusia dan Iran di Suriah. Di dalam tubuh NATO pun hanya Perancis dan Inggris yang masih bersedia mendukung penggulingan Assad, Negara anggota NATO lain lebih memilih untuk menangani krisis yang tengah melanda seluruh eropa
Sementara pihak yang berada di kubu ini antara lain Suriah, Rusia, Iran, Hizbullah, dan China. Rusia yang memiliki pangkalan angkatan laut di tartus memindahkan sebagian armada laut hitam dan pasifiknya ke pangkalan ini, Kapal penghancur, pendarat dan kapal selam disiagakan di pangkalan ini guna mencegah campur tangan langsung Negara lain. Rusia juga serius membantuk menyokong persenjataan rusia, dari klas bawah sampai atas seperti mengirim sistem pertahanan udara S300 , Rudal anti kapal Yakhont dan Pantsyr S-1, menyebar radar canggih serta melatih pasukan suriah untuk mengoperasikan alutsista canggih tersebut. Kekuatan militer suriah yang didukung persenjataan canggih membuat pihak Barat seperti NATO tak berani melakukan serangan langsung, hanya Israel yang berani mengirim jet tempurnya untuk menghancurkan tempat strategis di Suriah yang langsung dikecam oleh banyak pihak. Iran kabarnya mengirimkan pasukan khususnya untuk bertempur bersama pasukan pemerintah serta mengirimkan pasokan senjata. Iran dan suriah sering bekerja sama menyalurkan senjata bagi pasukan Hizbullah dalam kampanye anti Israel dan pembebasan Palestina, Hizbullah sendiri juga turut mengirimkan pasukan terbaiknya untuk bertempur di Suriah. China yang sebelum dibuat jengkel karena ekspansi ekonominya yang strategis di Libya di hancurkan oleh Barat, bakal memperjuangkan kepentingan ekonomis yang berharga di Suriah agar tak kembali kecolongan seperti kejadian di Libya.
Sekutu Suriah, Rusia yang memiliki banyak kepentingan strategis dengan Suriah juga merasa terganggu akibat perang ini. Hingga sekaran mereka secara konsisten terus mendukung Bashar Al Assad. Sama Seperti Rusia, Iran juga turut mendukung secara politis terhadap Bashar Al Assad, China pun demikian meski tak terlalu terlihat seperti Rusia dan Iran.
Banyak tangan asing yang turut bermain di Suriah semakin memanaskan situasi, saling tuduh sudah menjadi menu harian, PBB melalui Dewan Keamanan gagal meloloskan resolusi karena di veto Rusia dan China, Bila PBB meloloskan resolusi ini maka bakal menjadi alat legalitas bagi Amerika dan NATO untuk melakukan invasi terbuka seperti kasus Libya. Solusi damai yang ditawarkan Bashar Al Assad ternyata juga ditolak oleh pihak oposisi begitu juga sebaliknya tuntutan Oposisi juga ditolak keras oleh Assad..
Karna selalu gagal mendapatkan legitimasi dari dewan PBB, berbagai cara digunakan pihak oposisi dan asing. Hal terhangat yang terjadi saat ini adalah penggunaan senjata kimia yang mengakibatkan 1.429 jiwa tewas klaim pihak oposisi sedangkan menurut Doctors Without Borders 350 orang tewas. Hal itu menjadikan legitimasi Amerika serikat untuk invansi militer secara langsung ke Suriah bersama sekutunya Perancis dan Inggris tanpa persetujuan dewan PBB. Padahal siapa yang menembakan senjata kimia masih terus menjadi perdebatan. Amerika dengan yakinnya bahwa mereka mempunyai bukti kuat bahwa rezim Bashar lah pelakunya . Hal ini dibantah oleh Suriah, dengan mengatakan bahwa data intelijen yang digunakan Amerika adalah data dari media sosial. Bahkan Presiden Rusia Vladmir Putin menantang obama untuk membuktikan klaim dia, Secara logika akal sehat Bashar Assad tidak mungkin melakukan serangan senjata kimia di saat militer Suriah sedang memperoleh kemenangan dalam berbagai pertempuran melawan para teroris dukungan asing dan juga di saat tim investigasi PBB sedang berada di Suriah. Titik terang siapa pengguna senjata kimia mulai terungkap, Anggota dari pasukan oposisi Suriah memberikan pengakuan kepada media Associated Press, mengenai siapa yang berada di belakang serangan yang menggunakan senjata kimia di Ghouta, Damaskus 21 Agustus 2013 lalu. Menurut "Kelompok Doctors Without Borders menemukan bahwa serangan itu adalah bentuk kesalahan koordinasi dan ketidaktahuan dari pihak pasukan oposisi. Mereka tidak menyadari bahwa mereka memiliki senjata kimia," ( Associated Press,1/9/2013).
Bahkan Selain mengakui bahwa serangan itu dilakukan oleh mereka, ada satu sosok lain yang memasok senjata mematikan tersebut. Senjata kimia itu disediakan oleh Pangeran Arab Saudi Bandar bin Sultan.
Meski ada pengakuan dari pihak pasukan oposisi, Pemerintah Amerika Serikat (AS) tetap dalam pendiriannya bahwa pasukan Presiden Suriah Bashar Al-Assad yang menggunakan senjata kimia itu.
Sepertinya Perang Suriah adalah cikal bakal perang dunia tiga. perang dunia ini baru bisa berhenti bila pihak yang berseteru mau menahan diri dan memilih menhentikan aksinya, duduk bersama dalam perundingan damai yang mampu mengakomodir keinginan semua pihak. Perang hanya akan meninggalkan bekas luka yang perih, memelihara kebencian, dendam yang tak berujung. Sudah banyak korban tak berdosa dan kehilangan orang orang terkasih akibat perang ini, siapapun yang menang dan kalah tak akan mampu mengembalikan apa yang hilang sebelum perang ini terjadi. Peace for Suriah, Human love human.
Perbatasan Sumatera Utara- Aceh 2013
Yang Lagi belajar.
Dodi
Comments
Post a Comment