PIDATO MOERTALA (KORBAN TRAGEDI KEMANUSIAAN SP KKA) pada acara dengar Kesaksian

Murtala
Assalamu’alaikum Warahmatullahhiwabarakatuh

Salam perjuangan…….! 

Hari ini adalah kehormatan bagi saya untuk bisa bicara lagi setelah sekian lama berada di sini, di antara hadirin yang mulia, adalah momen yang luar biasa dalam hidup saya. 

Saya juga merasa amat terhormat hari ini karena saya mewakili korban yang telah syahid, korban hari ini yang masih menyisahkan beban psikologis yang teramat sangat.

Saya tidak tahu harus mulai dari mana pidato ini. Saya tidak tahu orang mengharapkan saya bicara apa. Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Pencipta segalanya, karena kita semua diciptakan sama. 

Saudara saudariku yang berbahagia…..!
Ingatlah satu hal, hari bukanlah hari saya.Hari ini adalah hari ketika semua perempuan, laki-laki, dan para akvifis, serta seluruh hadirin, bersuara untuk hak mereka.Hari untuk ratusan aktivis HAM dan Pejuang Keadilan yang tak hanya bicara untuk diri mereka tapi juga pejuanganuntuk kebenaran dan keadilan bersama. 

Ada ribuan orang yang dibunuh, dan jutaan orang cedera. Saya hanya salah satu dari mereka. Jadi di sini hari ini saya berdiri: satu orang korban, di antara yang lain. Saya bicara bukan atas nama saya sendiri, tapi atas nama orang lain yang tidak punya suara yang bisa didengar, untuk mereka yang berjuang untuk haknya. Hak untuk hidup dalam damai, hak untuk hidup secara bermartabat, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama, hak untuk mendapat pendidikan, kesehatan, keadilan dan lain sebagainya. 

Saudara-Saudara Pejuang Keadilan Yang Saya Banggakan……! 

Saya akan mengulas sekelumit tentang gambarkan “Aceh Loen Sayang” Aceh yang saya banggakan…! 

Tidak seperti Jakarta dan Yogyakarta. Aceh tak pernah menyandang status ibu kota Republik ini. Tapi, tetap saja wilayah di ujung Nusantara itu patut di sebut “ Daerah Istimewa”. Dijuluki demikian, bukan lantaran Aceh adalah modal awal Republik ini. Bukan pula lantaran rakyatnya yang baru bisa ditaklukkan Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad XX sudi bergabung dengan “saudaranya” di wilayah lain di Nusantara yang sudah mengalami penjajahan 350 tahun sebelumnya. Bukan juga semata-mata akibat kekayaan alamnya, terutama minyak dan gas, seperti juga Tembagapura di Irian jaya, Bontang di Kalimatan Timur dan Dumai di Riau, yang menyumbang sebagian besar devisa untuk memungkinkan roda perekonomian Negeri ini berputar. 

Bukan sekadar itu. Aceh menjadi istimewa sebagaimana Provinsi lain dengan kelebihan masing-masing, karena tanpa dia, Indonesia bukan Indonesia. Kita bukanlah kita. Celakanya, tak banyak dari kita yang sungguh-sungguh mengindahkan keistimewaan itu. Apalagi, di masa silam, ketika sendi-sendi kebangsaan membusuk akibat korupsi, pelecehan hukum, dan pengaguangan stabilitas Nasional merajalela melalui kekuatan bersenjata. Akibatnya, pembagian hasil sumber alam terasa amat tak adil lantaran tetesannya ke bawah semakin kecil. Konsekuensinya, banyak orang merasa didiskriminasi secara terang-terangan dan kian tak percaya kepada lembaga peradilan hasilnya, sekian ribu orang kehilangan nyawa tanpa sempat dijelaskan kesalahannya, sekian ribu ibu tiba-tiba menjadi janda, sekian ratus wanita diperkosa, sekian ribu anak-anak mendadak yatim piatu, dan sekian ribu orang terluka ( sementara, sekian ratus ribu lainnya mendapatkan cedera di lubuk hati ). Pada saat itu, sebutan “ Daerah Istimewa “ menjadi tanpa makna. 

Hari ini Aceh memang telah damai, 15 Agustus 2005 berlalu sudah, penggantian pemimpin demi pemimpin telah mewarna Aceh,dan sakaligus pengantian Pemerintahan Indonesia, namun diakui atau tidak diakui hukum dan keadilan belum berpihak kepada Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh, bahkan diseluruh penjuru Nusantara, kuburan yang tidak memiliki batu nisan dan nama pemiliknya masih tersebar dimana-mana, anak yatim piatu, janda korban masih menyiksakan kesidihan, trauma yang berkepanjangan masih menyelimuti kalbu anak bangsa. 

Mau kita kemanakan harkat dan martabat bangsa ini, bila anak negeri masih menjerit kelaparan, haus pendidikan dan lain sebagainya? Apa makna Kemerdekaan Bangsa ini dan Perjanjian MoU Helsinki di cetuskan bila anak negeri hidup “ tanpa makna, tanpa keadilan”? Ironis memang…..!!!!! 

Saya hampir tidak bisa percaya betapa besar cinta yang diberikan pada saya, terima kasih untuk saudara,handai taulan,Kakek, Nenek yang dengan do’anya menguatkan saya, terima kasih untuk para aktifis yang telah mendo’akan dan menguatkan saya.Saya berterimakasih pada mereka dan pada upaya mereka untuk terus menerus membantu dan member spirit. Mereka juga terus menerus memberikan inspirasi agar kita terus berjuang untuk sebuah keadilan. 

Pada masa DOM, Darurat Militer, Darurat Sipil, Saya dan Keluarga saya di bungkam, diteror, bahkan dihilangkang,mereka juga menembak teman-teman saya yang tidak berdosa. Mereka pikir peluru dan penyiksaan akan membuat saya bungkam. Tapi mereka gagal.Karena Allah SWT selalu melindungi hamba-Nya, yang yakin dan ikhlas. 

Dari kesunyian itu, muncul ribuan suara lain, para peneror itu berpikir mereka bisa menghentikan ambisi perjuangan untuk keadilan dan mengubah tujuan hidup saya. Tapi hingga kini tak ada yang berubah dalam hidup saya, kecuali ini kelemahan, ketakutan dan ketakberdayaan mati.Kemudian ketakutan, tenaga dan keberanian lahir batir tumbuh bersemi dalam sanubari. Saya adalah saya yang sama, saya yang anda kenal. Ambisi saya masih sama.harapan saya masih sama. Mimpi saya masih sama. Dulunya saya memang pernah kehilang kepercayaan diri, saya persimis dengan perjuangan menuntut keadilan. Bahkan saya sudah jenuh mendengar dengan kerja-kerja Lembaga Hak Asasi Manusia, yang katanya akan sama-sama berjuang untuk sebuah keadilan. Hasyarat dan impian itu telah hilang. Sering dengan waktu, saya tumbuh menjadi orang yang suka menyendiri, hampir-hampir putus asa, kalau saya tidak ingat Allah SWT. Entahlah….. 

Saudara-Saudara para Pembela Hak Asasi Manusia…..! 

Saya tidak bermusuhan dengan siapapun.saya tidak disini untuk meyerukan balas dendam pada orang yang telah membuat anak negeri ini menderita berkepanjangan atau semua kelompok manapun. Saya disini untuk bicara tentang hak setiap anak negeri untuk memperoleh keadilan dan martabat sebagai manusia. 

Ini adalah semangat memberi maaf yang diajarkan ayah dan ibu saya. Ini adalah apa yang dibisikkan jiwa saya pada saya. “ Damailah dan cintailah semua orang.” Kita menyadari pentingnya cahaya ketika melihat kegelapan. Kita sadar pentingnya bersuara ketika kita dibungkam. Begitu juga di Papua, Jogya, Lampung, Kupang, Timor Leste, Medan dan seluruh belahan dunia, kita harus sadar benar bahwa pentingnya pulpen dan buku, ketika kita melihat senjata api dan jenis senjata lainnya.Ada yang mengatakan pulpen lebih perkasa dari pedang. Itu benar. Para ekstremis, para pencundang lebih takut pada buku dan pena. Kekuatan pendidikan sejarah yang benar menakutkan mereka. Mereka takut pada keperkasaan korban dalam menggalang solidaritas,kekuatan suara kita menakutkan mereka. 

Berangkat dari itu semua, dari trauma panjang dan ketidak berdayaan yang saya alami. Tahun 2007 saya bersama dengan korban-korban Tragedi Sp.KKA dan korban lainnya mendirikan organisasi korban. Tanggal 20 April 2007, sebuah lembaga korban di Aceh Utara didiri oleh 28 delapan orang korban. Karena perjuangan saya hadir disini….. 

Para pejuang keadilan yang saya banggakan…..! 

Saya merasa bangga dan berbagahagia dimana saya bisa dipersatukan dengan para korban dan keluarga korban, dengan para perempuan,para kakek, nenek, para ibu yang tetap tegar berjuang, yang selama ini berinteraksi, berjalan, berbagi bersama kami, yang tidak pernah berhenti berjuang tanpa lelah selama beberapa dekade terakhir, yang tetap memberi saya tenaga dan keyakinan, meraka adalah inspirasi dan sumber semangat adalah para lelaki perkasa, para kawan-kawan yang juga telah berjuang tanpa lelah selama ini. 

Tatapan matadan ujaran-ujaran merekalah yang menjadikan saya untuk tetap tegak berjuang dan memiliki harapan, bahkan hingga hari ini. Dikala organisasi-organisasi Kitamenjamur berdiri diseluruh pelosok negeri, saya selalu mengatakan bahwa saya hanya mungkin berhasil menjalankan amanah bila kami didukung oleh seluruh anggota, kami juga sering menyampaikan harapan kepada para jaringan korban, sahabat korban, aktifis kemanusia dan lain sebagainya, agar kami selalu dikontrol, dipantau dan di ingatkan, hanya dengan cara demikian kita bisa bekerja, bisa kuat dan bisa digaris depan. Dan saya bersyukur selama masa ini saya mendapat hampir semuanya. 

Hadirin para undagan tamu yang kami hormati……! 

Perjuangan untuk sebuah keadilan dan kebenaran ini,ibarat kenderaan bus, pada awalnya kita dibuat untuk mengangkut beberapa orang penumpang saja, tetapi sejak saat ini dan mulai hari ini saya dan kita semua, ditugaskan juga untuk mengangkut tambahan-tambahan kerumunan penumpang yang sudah lama menunggu angkutan, dalam cara pandang inilah kita tidak melihat para penumpang sebagai beban, tetapi sebagai pontensi.Bukan hanya para penumpang ini akan menjadi tukang dorong kalau kenderaan mogok, tetapi kalau jalan mulus dan mesin kenderaan dalam keadaan baik, kenderaan tersebut bisa menghantarkan semua penumpang ke tempat tujuan masing-masing. Yang kemerin, hanya ada dalam ingatan. Untuk besok hanya kamu yang mampu dengan harapan, yang sekarang ini adalah yang sebenarnya. Dimana kamu harus terima dengan penuh kesadarannya.sipa sekarang yang tidak ingin membuka m,ata, besokpun akan tetap buta. 

Saudara-saudaraku sekalian…..! 

Kini tiba saatnya untuk meneriakkan tuntutan kita. Hari ini, kita menyerukan pada para pemimpin bangsa ini, pemimpin dunia, untuk mengubah kebijakan strategis mereka pada usaha mencapai Perdamaian dan kesejahteraan. 

Kita menyerukan pada para pemimpin negeri ini,pemimpin dunia, agar semua perjanjian damai harus melindungi hak semua orang. Perjanjian yang mengabaikan hak untuk keadilan, tidak bisa diterima. 

Kita juga menyerukan pada Para Korban dan Keluarga Korban di seluruh Indonesia dan seluruh dunia, tetap bangkit, untuk tetap bersemangat dan untuk terus bersuara, berteriakmelawan kekerasan, demi melindungi umat manusia dari kekejaman dan kesewenag-wenangan. 

Kita tidak sendiri, masih banyak anak bangsa ini yang sampai hari ini bangga dengan perjuangan kita, karena kita bukanlah orang-orang yang bangga dengan tanda jasa dan lencana yang disematkan didada atas jasa kita membunuh,membungkam, menahan ribuan manusia, menjadikan perempuan-perempuan menjadi janda dan menciptakan anak menjadi yatim piatu, tanpa salah dan dosa. Oleh karena itu saudaraku, jika cobaan yang kita rasa sepanjang sungai, maka kita akan jadikan kesabaran kita seluas samudera, jika harapan sejauh hamparan mata memandang, maka tekad kita mesti seluas angkasa membentang dan seandainya pengorbanan kita sebesar bumi, maka keishlasan kita haruslah seluas jagad raya, karena hanya orang-orang pemberanilah yang mampu mengucapkan maaf dan meminta maaf. 

Sebelum saya mengakhiri ada baiknya saya akan membacakan sebuah Puisi dan seutai narit madja Aceh : “Langet singeit awan peutimang, buemoe reungghaing ujeun peurata. Salah nariet peudeung peuteupat, salah seuneumbat teupeuroe duemna “. Nyana bek tapeutan, nyang tan bek tapeuna. 

Terima kasih, akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kita berserah diri, semoga apa yang kita impikan terwujud adanya. Bila ada kata-kata yang kurang berkenan untuk dapat dimaafkan. 

Hidup Korban……!!! Hidup Pejuang keadilan…..! Hidup Pejuang HAM…..! 

Wabillahitaufiq, walhidayah Wassalamu’alaikum Wr,Wb. 

Jakarta, 29 November 2013 
Murtala 



Comments

Popular Posts