TV Lokal, Mengapa Tidak?
SEJAK berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pemerintah secara terbuka tidak lagi mengedepankan penayangan siaran-siaran yang dilakukan melalui Stasiun Televisi (TV) Nasional. Ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada daerah-daerah atau komunitas untuk mampu menyelenggarakan penyiaran sesuai dengan muatan dan konten yang lebih sesuai dengan keadaan daerah tersebut. Daerah-daerah kini punya peluang dan kesempatan untuk membangun stasiun TV lokal yang mampu menyiarkan lebih banyak konten-konten lokal dari daerah tersebut.
Ini ditujukan untuk memberikan batasan pada TV nasional agar tidak memonopoli warga negara Indonesia untuk menerima “Jakartaisme”. Masyarakat daerah, termasuk Aceh misalnya, berhak tau lebih banyak mengenai hal-hal lokal yang terjadi di daerahnya.
Saya melihat, kini Aceh sudah saatnya butuh stasiun TV yang bonafide. Ini bukan berarti tidak menganggap stasiun TV yang sudah ada sekarang, tapi secara jujur sebagai orang yang tengah menuntut ilmu di bidang pertelevisian dan belajar langsung dengan para ahlinya. Saya melihat dibutuhkan sebuah pergerakan besar untuk memajukan TV lokal di Aceh, agar tak lagi sekadar menjadi TV dokumentasi pesanan dengan bayaran yang tak seberapa.
Pola bisnis TV baik lokal maupun swasta nasional adalah sama, yaitu commercial TV, yang mendapatkan penghasilan melalui iklan. Sekilas terlihat bahwa TV lokal tidak akan mampu untuk mendapatkan pengiklan dari perusahaan-perusahaan besar yang tentu akan lebih memilih TV nasional. Untuk menanggapi hal ini, saya hanya ingin mengajak warga Aceh untuk melakukan “mental block” terhadap hal tersebut. Karena saat ini ada banyak sekali putra-putri Aceh yang tengah belajar dan bekerja pada industri audio-visual (TV) yang punya kemampuan untuk menciptakan program-program yang akan “dihinggapi” para pengiklan.
Bernilai Tinggi
Coba ingat lagi bagaimana baru-baru ini salah putra Aceh mampu berbicara banyak pada kompetisi film dokumenter tingkat nasional melalui karya yang mengangkat industri garam lokal yang sudah hampir mati di daerah Aceh. Itu salah satu contoh bagaimana konten lokal Aceh bernilai tinggi, masih orisinil dan belum terperhatikan, bahkan oleh anak-anak Aceh sendiri. Cobalah lihat dari tayangan-tayangan yang saat ini ada di TV lokal kita, apakah konten-konten yang demikian digarap. Tidak!
Banyak hal yang mampu dijadikan uang dari berbagai keunikan daerah kita. Bukan mengikuti arus tayangan yang saat ini ada. Ketika TV lain berhasil dengan sinetron, maka kita pun harus buat sinetron. Ketika ada yang berhasil dengan lawak komedi maka semuanya pun berlomba-lomba lawak komedi. Bukan demikian yang seharusnya dipikirkan oleh anak Aceh yang peduli pada perkembangan TV lokal Aceh. Tapi pada bagaimana kita mampu mengangkat hal-hal unik yang mampu menjadikan kita pembeda dari TV-TV lainnya.
Berbicara mengenai pola bisnis TV, saya menyadari bahwa penyediaan transmisi dan produksi tayangan TV membutuhkan biaya mahal sekali. Jika TV lokal hanya dilepaskan begitu saja untuk menjalankan produksinya, maka saya yakin sekali yang dihasilkan ialah tayangan-tayangan yang sangat murah meskipun tidak murahan. Bisa jadi berpendidikan meskipun hanya 30%. Boleh jadi berseni, walaupun hanya 10%.
Inti dari pernyataan ini ialah, TV lokal Bonafide di Aceh itu bukanlah mimpi seandainya Pemerintah mau untuk membantu dengan lebih baik lagi. TV kini bukan hanya penyumbang kehidupan bagi segelintir orang (kru) yang ada di situ, tapi pada banyak masyarakat. Contohlah Korea, mengapa tayangan-tayangan Korea dapat bagus sekali dan menjadi idola remaja sekarang ini.
Jawabannya karena TV-TV di Korea memproduksi tayangan berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintahnya. Tentu saja mereka adalah kalangan yang mengerti mengenai TV. Karena tidak mungkin memberikan pengurusan TV pada mereka yang tidak berlatar belakang TV. Belum lagi dukungan finansial dari pemerintahnya kepada PH (production house) sehingga mereka mampu memproduksi tayangan yang benar-benar menarik. Ketika penonton tertarik, maka iklan juga akan ikut tertarik. Itu artinya aliran uang ke stasiun TV.
Dalam bidang sumber daya manusia, pemerintah Aceh harusnya juga punya perhatian untuk pada masalah ini. Bukan hanya persoalan menambah lulusan teknik yang harus dipikirkan. Tetapi juga bagaimana agar media komunikasi dan informasi daerah mampu berjalan dengan baik bahkan dapat menjadi primadona masyarakatnya. Karena, TV bukanlah hanya sebagai media hiburan belaka, tetapi juga sebagai pencerdas kehidupan bangsa.
Apakah mau jika terus-terusan dicekoki dengan tayangan nasional “gue-elo” dan mengajarkan hedonisme itu kepada anak-anak Anda. Saya yakin jawabannya tidak. Salah satu cara yang harus dilakukan juga ialah bagaimana agar anak-anak muda Aceh mau belajar pada bidang pertelevisian. Bukan hanya itu, pemerintah daerah juga harusnya menghargai putra-putri daerah ini dengan mengajak mereka secara bersama berdiskusi mengenai masa depan TV di Aceh
TV Lokal Aceh.
Jika saja stasiun TV mendapatkan dukungan, maka PH lokal juga akan ikut lahir. Apalagi jika nanti para pemuda Aceh yang telah mengerti mengenai berbagai proses kreatif, bisnis, dan manajerial mengenai masalah ini kembali ke daerah, maka akan menghasilkan kolaborasi yang jauh lebih klop lagi. Sehingga nanti diharapkan, TV lokal Aceh bukan lagi hanya berisi tayangan-tayangan dengan kualitas lokal, tapi konten lokal kualitas nasional, bahkan internasional.
Kualitas nasional yang saya maksudkan adalah ialah tayangan yang memiliki nilai seni, pendidikan, dan ekonomi (pengiklan) yang tinggi. Tentu saja dibutuhkan pemuda-pemuda Aceh yang siap untuk membangun daerah dan masyarakatnya. Jika saja semua faktor tadi dapat bersinergis dengan baik, maka suatu saat nanti kita akan bisa menyaksikan tayangan-tayangan yang bagus dan berkualitas karya daerah sendiri, sehingga kita bisa berteriak bahwa TV lokal bonafide itu ada di Aceh.
Kita semua berharap agar secepatnya ada pembenahan dari pemerintah untuk memanfaatkan dengan baik bibit-bibit yang sudah ada di daerah. Jika perlu sekolahan lagi mereka ke seluruh penjuru dunia. Kita harus melek akan hal ini, suatu saat putra-putri daerah tersebut harus berada pada tanggung jawab mendokumentasikan berbagai sejarah dan juga keunikan daerah Aceh melalui tayangan-tayangan dari media audio-visual.
Kalau tidak digarap dari sekarang, maka bukan hanya TV Lokal Bonafide yang tidak akan hadir. Tapi juga sejarah. Siapa yang telah memfilmkan mengenai kisah Malahayati ataupun tragedi Tsunami dari kacamata pemilik sejarah (baca: orang Aceh)? Belum ada. Apakah anda orangnya?
Comments
Post a Comment